“Jago Ngerjain Banyak Hal dalam Waktu Bersamaan”| The Paradox of Multi-tasking

Alvida Syifa
5 min readNov 8, 2020

Lagi nyetir di mobil sambil sing along sama lagu di radio dan balesin chat dari temen yang ngajakin zoom meet-up malem ini.
atau
Lagi ikut acara training di kantor sambil ngerjain report yang deadline nya besok dan ngerespon e-mail dari client… dan masih banyak lagi contoh dari tingkah laku kita sehari hari yang seakan menggambarkan kita, manusia, sebagai si jago ‘multi-tasking’.

Multi-tasking sendiri didefinisikan sebagai situasi dimana seseorang terlibat dalam lebih dari satu hal pada waktu yang sama. Sekarang ini, istilah dari multi-tasking dianggap sebagai suatu kekuatan atau kehebatan dari seseorang. Kalo jago multi-tasking artinya orang itu produktif dan hebat karena bisa menyelesaikan banyak hal sekaligus. Bahkan, bisa melakukan multi-tasking dinilai sebagai keharusan dan hal yang wajar untuk dimiliki oleh seorang karyawan dalam pekerjaan.

Pertanyaannya, benarkah multi-tasking itu nyata?

Berdasarkan penjabaran dari buku yang berjudul “Careful!” karya Steve Casner, ternyata manusia itu tidak benar-benar melakukan multi-tasking loh! Casner menuliskan bahwa apa yang seringkali kita sebut dengan multi-tasking sebenarnya adalah task-switching.

Pada dasarnya, proses kognitif manusia tidak bisa fokus pada dua hal (khususnya hal-hal yang sangat penting) secara bersamaan. Hal yang sebenarnya terjadi adalah kita secara konstan merubah fokus kita dari satu hal ke hal lain. Contohnya, ketika kita sedang menyetir dan membaca WA dari teman kita, yang sebenarnya terjadi adalah kita menyetir; fokus pada kondisi jalan lalu fokus pada pesan WA, lalu fokus pada kondisi jalan lagi, dan lalu fokus pada pesan WA itu lagi, dan seterusnya.

Belum lagi fakta bahwa pikiran manusia itu sulit sekali untuk kosong. “Our mind always wanders”. Bisa saja ketika sedang mengerjakan suatu pekerjaan pikiran kita malah berlari ke banyak tempat lain. Contohnya, saya yang sekarang sedang menulis artikel ini tapi teringat report yang harus dikerjakan dan event yang harus dilakukan besok di kantor. Atau se-sederhana ketika sedang mengisi botol minum, kita teringat akan deadline tugas kuliah besok — alhasil botol minum yang lagi diisi kepenuhan dan tumpah karena kita malah ngelamum mikirin hal lain.

Nah, itu contoh simpel dari dampak dari melakukan multi-tasking dan tidak fokus memikirkan/mengerjakan satu hal dalam satu waktu.

Terlepas dari anggapan bahwa multi-tasking itu hebat dan produktif, faktanya ada beberapa studi yang menuliskan bahwa melakukan multi-tasking malah menyebabkan kerjaan jadi tidak ada yang selesai dan ternyata tidak benar-benar berdampak pada produktivitas dari pekerjaan loh. Meskipun multi-tasking seakan memberikan kesan bahwa ‘banyak hal yang selesai’ tapi sebenarnya multi-tasking itu juga yang menurunkan performa dan kualitas dari pekerjaan yang dilakukan.

Coba ingat-ingat lagi, seberapa sering sih kita berbuat suatu kesalahan karena kita ter-distract dan gagal fokus dari apa yang harusnya kita selesaikan?
Atau coba ingat-ingat lagi hari dimana kita berusaha mengerjakan banyak tugas sekaligus, pada akhirnya, berapa banyak sih kerjaan yang benar-benar selesai di penghujung hari itu?
Semakin banyak hal yang kita kerjakan secara bersamaan akan membuat kita semakin rentan membuat kesalahan dan menjadi orang yang ‘skip’-an.

Selain itu, ada juga penelitian yang menyebutkan bahwa kegiatan multi-tasking yang terlalu berlebihan dilakukan akan meningkatkan level kecemasan dan stress seseorang. Ketika melakukan multi-tasking, pikiran kita akan selalu sibuk berpikir “..habis ini harus itu..” dan pikiran-pikiran tugas lainnya yang tidak akan pernah selesai. Hal ini jika berlanjut bisa membuat kita ‘uring-uringan’ sendiri dan berdampak pada well-being kita.

Tapi, terkadang memang situasi multi-tasking itu tidak bisa dihindari. Apalagi di situasi saat ini ketika teknologi sudah semakin canggih dan manusia selalu terus dituntut untuk produktif.

Jadi, apa yang bisa dilakukan?

Casner, dalam buku nya menyebutkan beberapa tips yang akan saya coba rangkum dan sesuaikan dengan pengalaman dari saya sendiri ya.

  1. Terima. Terima fakta bahwa memang otak dan kemampuan kognitif kita itu terbatas. Kita tidak bisa memaksakan diri kita melakukan semuanya sekaligus dan bersamaan. Terima kenyataan bahwa mengfokuskan diri pada satu hal itu sulit, belum lagi dengan energi dan waktu yang juga terbatas.
  2. Cari bantuan. Nah, ketika kita sudah sadar bahwa kita kita tidak bisa melakukan multi-tasking, kita kemudian bisa coba delegasikan tugas-tugas kita kepada orang lain. Contohnya, ketika kita diharuskan menjaga anak bermain di kolam renang tapi juga harus melakukan virtual meeting dengan client, coba cari bantuan orang lain yang dipercaya, misalnya suami atau adik kita, untuk menjaga anak kita. Dengan begitu, kita tidak perlu membagi fokus kita kepada dua hal sekaligus bukan?
  3. Bikin list prioritas dan tentukan. Saya sendiri adalah tipe yang pikirannya tuh ‘berisik’ banget. Kalo lagi mengerjakan sesuatu, sering sekali teringat hal lain juga yang harus dikerjakan. Maka dari itu, penting untuk bikin prioritas dengan cara tulis apa aja tugas yang sebenarnya harus kita lakukan. Jadi dari pada uring-uringan sendiri karena pikiran ‘melayang’ kemana-mana, coba ditulis dan di-breakdown satu per satu. Coba cerna list itu terus tentukan yang mana yang harus duluan dikerjakan. Kalo kata Kale ke Awan di film NKCTHI — “Sabar, satu per satu”.
  4. Istirahat. Seperti yang disebutkan di atas, kemampuan otak kita untuk bekerja itu terbatas. Jadi, tidak ada salahnya untuk mengistirahatkan pikiran sejenak sebelum akhirnya kembali bekerja. Having a mental break is good for your mind and body, so don’t feel guilty if you feel like you need a break.

Yups, itulah tadi penjabaran dan opini saya tentang multi-tasking yang beberapa minggu belakangan ini ada di pikiran saya karena padatnya aktivitas pekerjaan dan sosial lainnya dalam keseharian.

It takes time for me to realize that being busy is different with being productive.

When you are busy, doesn’t mean you are productive, and to be productive you don’t have to be busy.

Simply do things: one step at a time.

Anyway, topik tentang multi-tasking ini masih jadi perdebatan juga sejauh info yang saya baca. Karena ada penelitian yang bilang juga bahwa sejak tahun 1990, ketika multi-tasking dianggap hal yang biasa, keadaan ekonomi di Amerika meningkat.
Heeem, tapi itu kan seru nya belajar tentang fenomena tingkah laku manusia? ada aja anti-thesis nya.. So, please let me know if you have a different perspective about this cause I’d love to discuss it more!

Sumber:

Appelbaum, S. H., Marchionni, A., & Fernandez, A. (2008). The multi‐tasking paradox: Perceptions, problems and strategies. Management Decision.

Casner, S. (2017). Careful: A User’s Guide to Our Injury-prone Minds. Penguin.

Sanbonmatsu, D. M., Strayer, D. L., Medeiros-Ward, N., & Watson, J. M. (2013). Who multi-tasks and why? Multi-tasking ability, perceived multi-tasking ability, impulsivity, and sensation seeking. PloS one, 8(1), e54402.

Wood, E., Zivcakova, L., Gentile, P., Archer, K., De Pasquale, D., & Nosko, A. (2012). Examining the impact of off-task multi-tasking with technology on real-time classroom learning. Computers & Education, 58(1), 365–374.

--

--

Alvida Syifa

Human’s mind and behavior, self-compassion, mindfulness, education, well-being, personal growth, and humanity enthusiast