“Maafin ga ya….” — Why forgiveness is a gift for yourself

Alvida Syifa
4 min readMay 24, 2020

“Sebenarnya, gue udah maafin dia belum sih?” adalah celetukan seorang teman yang secara langung juga menyentil diriku sendiri.

Aku yakin, kita semua pernah merasa tersakiti, marah, bahkan benci terhadap seseorang. Perasaan itu bisa muncul karena perbuatan yang secara langsung dilakukan oleh orang itu, seperti mengejek, membentak, dan hal jahat lainnya yang memang ditujukan langsung terhadap diri kita. Atau, pada kasus yang lebih dekat dengan ku, bisa jadi perasaan tersakiti dan marah itu tetap bisa muncul meskipun orang tersebut tidak berbuat jahat terhadap kita. Bisa jadi, perasaan itu muncul karena adanya rasa iri, kompetitif, atau bahkan irritated.
Beberapa minggu belakangan ini aku pun tersadar bahwa perasaan ini sebenarnya menyiksa diri ku sendiri (bahkan mungkin berlipat rasa sakitnya karena aku tau orang yang bersangkutan tidak menyadari apapun). Sampai akhirnya, minggu lalu aku mengikuti Webinar dari seorang dosen psikologi di Universitas Indonesia, Mba Hanum, tentang Forgiveness atau bisa juga disebut dengan memaafkan/pengampunan.

Berdasarkan definisi yang disebutkan oleh Enright et al. (1992) forgiveness adalah proses penerimaan emosi negatif menjadi emosi positif yang terwujud dalam perasaan damai, empati, dan compassion. Menariknya, dijelaskan juga bahwa forgiveness bukan hanya sekedar melupakan dan move on. Forgiveness juga bukan berarti membenarkan perbuatan/kesalahan yang sudah dilakukan lalu menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang ‘normal’ dan ‘sah sah saja’. Sering kali kita malah salah memaknai memaafkan dengan “yaudah lahh, itu mungkin hal biasa” atau “yaudahlaah, dia berhak melakukan hal itu kok soalnya kan dia pernah blablabla”. Bukan.

Forgiveness adalah sebuah proses mengakui bahwa yang telah dilakukan orang tersebut adalah salah dan menerima bahwa diri ini merasa tersakiti atas perbuatan itu, lalu perlahan melepas emosi negatif itu menjadi perasaan yang lebih positif.

Forgiveness bisa terbentuk dalam 3 aspek diri manusia, yaitu 1) secara afektif, bagaimana perasaan negatif seperti marah dan sedih perlahan digantikan oleh perasaan positif seperti compassion dan rasa syukur, 2) secara kognitif, bagaimana pikiran dan rencana untuk membalas dendam digantikan dengan mendoakan yang terbaik untuk orang tersebut, dan 3) secara tingkah laku, bagaimana yang kita tidak memunculkan perilaku perilaku jahat seperti mencelakai atau mengucilkan orang tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Worthington dan Scherer (2004) kemudian mengatakan bahwa forgiveness sendiri merupakan emotion focused coping strategy dalam menghadapi situasi negatif/ membuat stress. Disebutkan juga bahwa seseorang yang mempraktikan forgiveness dalam menghadapi situasi yang menyakitkan cenderung lebih resilient, lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, lebih tenang, dan lebih bahagia. Penelitian lainnya juga menambahkan bahwa forgiveness berhubungan dengan rendahnya level stress dan kecemasan seseorang dan meningkatnya level self-esteem orang tersebut. Selain itu, forgiveness akan membuat kita memunculkan perilaku yang lebih positif, meningkatkan kualitas hubungan yang kita miliki, dan membantu kita untuk membangun interaksi yang lebih baik lagi.
Dengan memaafkan tentunya akan memberikan perasaan nyaman dan tenang di dalam pikiran. Kita yang biasanya pusing dan ‘uring-uringan’ sendiri ketika memikirkan seseorang yang kita benci, bisa lebih menerima kehadiran orang tersebut, menyadari bahwa memang dia dan diri kita punya jalan masing-masing, dan bahwa kita berdua.. ya sama sama manusia. Kita juga perlu pahami bahwa membenci itu juga menguras energi. Oke, gapapa, perasaan negatif dan benci itu diterima dulu, lalu setelah itu pikir “sekarang harus apa?”. Mungkin masing-masing dari kita punya cara sendiri sendiri menghadapinya, tapi kalau aku, ditulis aja. Yup, seperti yang sedang kulakukan sekarang ini di sini. Berusaha mengolah emosi negatif perlahan menjadi emosi positif dengan iseng membaca beberapa artikel tentang forgiveness dan menuliskannya sebagai bahan refleksi diri.

Forgiveness itu proses dan mungkin akan banyan ‘naik turun’nya. Proses ini pun tidak bisa dipaksakan, semua orang punya jalan dan situasinya masing-masing. Prosesnya bisa panjang jadi harus sabar, jangan terlalu berharap bahwa perasaan negatif pada orang tersebut bisa langsung hilang dalam waktu singkat. Pasti akan banyak perasaan tidak nyaman yang muncul, apapun nanti rintangannya, kita harus menerima dan tetap yakin bahwa perasaan negatif ini harus dihadapi dan nantinya akan muncul perasaan damai di akhir.

Penelitian yang dilakukan oleh Enright et al (1992) menyebutkan bahwa seseorang yang berhasil terlepas dari perasaan marah yang berlarut-larut akhirnya bisa lebih fokus dengan tujuan eksternal dan mimpi nya. Dengan memaafkan, kita mungkin bisa memahami diri kita lebih dalam, menemukan sesuatu yang baru yang ternyata menarik dalam diri kita, menemukan impian lain dan keinganan untuk maju, dan tentunya semakin mencintai diri kita sendiri.

Forgiveness is not only a gift for that particular someone, it is also the best gift for our own self.

Sources:

Enright, R. D., Gassin, E. A., & Wu, C. R. (1992). Forgiveness: A developmental view.

Worthington, E. L., & b M. (2004). Forgiveness is an emotion-focused coping strategy that can reduce health risks and promote health resilience: Theory, review, and hypothes

--

--

Alvida Syifa

Human’s mind and behavior, self-compassion, mindfulness, education, well-being, personal growth, and humanity enthusiast