Siapa sih diri ini?

Alvida Syifa
3 min readSep 22, 2020

“I was innocent and certain, now I am wiser but unsure”

Sepenggal kalimat yang selalu saya ingat yang diucapkan Belle ketika mengenang dan kembali ke memori masa kecil nya di film Beauty and The Beast.

sumber gambar: https://images.app.goo.gl/SSzsaZnwVt78ZQ1Q8

Tujuh tahun lalu saya berpikir bahwa di September yang ke-23 dalam hidup ini akan menjadi tahun dimana saya menemukan banyak jawaban dan mencapai sesuatu yang dulu saya sebut ‘ideal’. Lulus dari jenjang sarjana, melanjutkan studi yang sudah lama saya impikan, hanya bertemu dan dikelilingi oleh teman-teman terbaik, dan bahkan bertemu dengan seseorang yang dapat saya sebut sebagai “pulang”.

Tujuh tahun berlalu sudah, dan ternyata hidup memang ‘tidak semudah itu ferguso’. Pengalaman-pengalaman yang saya peroleh selama kuliah bahkan cukup membuat saya terkejut akan diri saya sendiri.

Sejak dua tahun lalu, mulai banyak teman kuliah dan orang-orang di sosial media membicarakan tentang quarter life crisis, suatu ungkapan yang menggambarkan kondisi bagi individu di umur 18–25 tahun (khususnya bagi mereka yang baru saja lulus kuliah) dilanda kebingungan akan identitas diri mereka, cemas akan masa depan, mempertanyakan nilai nilai kehidupan, mencari hubungan yang spesial, dan tujuan hidup (Arnett, 2000; Rossi & Mebert, 2011). Kondisi ini dikatakan sebagai kondisi yang dapat membuat seseorang rentan terhadap stress dan bahkan depresi.

Hampir semua orang membicarakan hal ini, menjadikan quarter life crisis sebagai judul utama dari masa kehidupan yang bersama sama sedang dialami. Sampai saya pun menjadikan judul itu beban sendiri, seakan kemudian timbul tekanan dalam diri saya untuk keluar dari kondisi ini dan harus segera menemukan diri saya sebenarnya.

Menariknya, tahun lalu saya coba menceritakan kecemasan ini kepada seorang mentor dengan umur yang cukup lebih jauh dari saya, lalu dia berkata “Iya bener sih quarter life crisis namanya. Tapi bukannya hidup emang selalu dipenuhi dengan crisis?

Saya hanya diam.

Inget aja teori nya Eric Ericson. Setiap tahapan hidup manusia itu pasti ada crisis nya. Mulai dari kita bayi pun kita sudah dihadapi crisis trust vs mistrust kan, yang mana ga kalah pentingnya juga sama crisis yang lagi kita punya sekarang ini (intimacy vs isolation)

“Hidup emang harus selalu ada crisis. Bukannya crisis itu bagus supaya kita bisa berkembang ya?”

Crisis itu ternyata hal baik karena jadi kesempatan agar bisa bertemu dengan diri yang sebenarnya.
Quarter life crisis itu ternyata gapapa.
‘Belum tau jawabannya’ ternyata gapapa.

Perbincangan malam itu menjadi suatu renungan selama setahun kebelakang, yang mana banyak situasi baru dan realita hidup yang ternyata saya hadapi. Menimbulkan banyak pertanyaan dalam diri sendiri.

Beberapa kali saya coba untuk menengok ke belakang lagi, melihat gambaran besar dari kejadian yang dialami dan bagaimana kejadian tersebut membentuk diri saya sekarang.
Kemudian saya melihat kedepan, kepada banyaknya pilihan yang bisa saya genggam. Ternyata dunia tidak sesempit yang dulu saya pikirkan.

Seperti penggalan kalimat dari Belle di awal tulisan ini, semakin bijak manusia maka semakin tidak yakin dia untuk memilih.

Semakin dewasa dan bertambahnya pengalaman,
merasa tersesat ternyata dibutuhkan.

Hal-hal yang saya tandai sebagai batasan diri, perlahan mulai saya jadikan tantangan untuk dilewati.

Selalu mempertanyakan ternyata harus dilakukan,
karena ternyata hidup bukan cuman sekedar hitam atau putih.
Ada banyak hal yang jadi pertimbangan dalam menjawab setiap pertanyaan.

Baik untuk mimpi, cita, dan cinta. Eksplorasi dan evaluasi ternyata memang diperlukan ya.

Saya yakin pengalaman demi pengalaman, satu per satu jika dimaknai, pasti akan mendekatkan dengan tujuan yang dicari.

Jadi, tidak apa apa jika kita bingung dan tersesat dulu.

Pelan-pelan kita akan coba evaluasi dan maknai, ‘siapa sih diri ini?’

Selamat ulang tahun yang ke-23 di tanggal 23 ini, diri.

Referensi:

Rossi, N. E., & Mebert, C. J. (2011). Does a Quarterlife Crisis Exist? The Journal of Genetic Psychology, 172(2), 141–161. doi:10.1080/00221325.2010.521784

--

--

Alvida Syifa

Human’s mind and behavior, self-compassion, mindfulness, education, well-being, personal growth, and humanity enthusiast